Makhluk Terkuat itu Bernama Desi

    “Halo Doni, kau libur kerja kan?” Tanya Bang Ara pagi itu.
       “Iya Bang, ini baru sampai perbatasan Jogja-Magelang, setengah jam lagi sampai rumah. Kenapa Bang?”
       “Begini Don, istriku tadi dibawa emak ke rumah sakit. Katanya perutnya kontraksi. Abang minta tolong, kau temani Antin ya? Sedang nguber Anthony, saksi kunci kasus korupsi proyek stadion bola.
       “Siap. Sudahlah Bang, balik saja ke desk olahraga. Abang tak cocok di politik.”
       “Bosan ah. Sekali-sekali coba hal baru lah,” jawab Bang Ara sambil tertawa. “Makasih ya, jam 3 pagi aku susul ke rumah sakit. Martabak manis, atau asin?” Tambahnya.
       “Asin.”
       Motor CB 150 R baru milik Doni yang tadi menepi, segera distarter. Sesampainya di bangjo, tampak motor sebelah dinaiki pasangan muda-mudi sedang berpelukan mesra. “Cih,” ketika disadari jok belakangnya yang tak berpenumpang. Jengkel, segera digeber motor barunya itu habis-habisan. Setengah jam lebih sedikit, lelaki 27 tahun ini sampai di kamar anggrek nomor 37.
       “Kak Antin, sudah lahir belum?” katanya tanpa permisi, atau mengetuk pintu. Napasnya masih terengah-engah, akibat berlari sepanjang parkiran sampai kamar kakak iparnya.
       “Astaga Doni, kaget nih,” jawab Antin sambil menyentuhkan telapak tangan kanannya ke dada. “Sudah Om. Keponakanmu cowok, tapi sedang dibawa ke ruang khusus,” katanya setelah beberapa detik sempat sok.
       Dilihatnya emak terlelap di tempat tidur penunggu pasien. Gurat-gurat kelelahan muncul di wajahnya. “Kak, aku cari makan ya? Lapar.”
       “Iya, sana-sana, kalau ada kamu, malah tidak jadi istirahat, ngobrol terus,” kata Antin menggoda adik iparnya itu.
       “Cie yang sudah jadi emak-emak seutuhnya,” goda balik Doni, sedikit sengit.
       “Doniii kurang ajar ini anak, sana-sana pergi-pergi,” katanya setengah tersinggung, setengah bangga atas statusnya sebagai ibu.
       Koridor-koridor RSUD tampak lenggang. Sepertinya jumlah orang sakit berkurang. Doni yang lapar, segera menuju mini market di samping pintu masuk. “Rak roti sebelah, sebelah, sebelah, ketemu.” Segera diambilnya roti sobek besar dua bungkus, dan air mineral ukuran satu liter. Lalu ke kasir, membayar, dan segera dicarinya tempat duduk.
       Di depan mini market hanya ada satu tempat duduk, ukuran 4 orang. Pada salah satu ujungnya sudah diduduki wanita cantik, yang asik memegang kaca mini. Insting lelakinya mengatakan untuk duduk di ujung yang satunya.
       Sambil makan, diliriknya wanita cantik di sebelahnya itu. Setelah diamati benar-benar, “Ini bukan hanya cantik, tapi perpaduan antara cantik dengan seksi.” Matanya mulai piknik dari ujung rambut sampai ujung kaki.
       “Mas, aku tahu yang Mas pikirkan tentang aku,” kata wanita tadi tiba-tiba, sambil menghadapkan mukanya ke arah Doni, lalu dia tersenyum manis sekali.
       Seperti anak kecil ketahuan berbuat nakal, Doni kaget, akibatnya dia tersedak kunyahan roti. Dia terbatuk-batuk, tampak tersiksa. Wanita tadi segera mengambil air mineral di samping Doni, lalu membuka segelnya, serta tutupnya, kemudian disodorkan kepada Doni. Diteguknya air itu dengan rakus.
       “Maaf,” kata wanita itu setelelah kejadian tersedak itu berakhir.
       “Untuk?” jawab Doni cuek. Sebenarnya ini dilakukan untuk menutupi rasa malunya.
       “Membuat Mas tersedak,” jawabnya tulus.
       “Iya. Maaf juga.”
       “Untuk?”
       “Memandangmu,” kali ini giliran Doni yang tersenyum tulus.
       “Huuh, sudah biasa. Mas aku lanjut pakai make up dulu ya?”
       “Iya, silahkan.”
       Doni masih mencuri-curi pandang kepada wanita di sampingnya. Tapi bukan lirikan seperti tadi. Seumur hidup baru kali ini menyaksikan wanita bermake up secara face to face.Dengan kaca sekecil itu kok bisa, Narsisus saja harus menggunakan tepian telaga. Lihat, betapa seriusnya saat membentuk alis, pelukis pun sepertinya kalah. Dan uhh bedaknya tebal, sampai menahan batuk begitu. Coba kalau maskaranya masuk mata, pasti perih. Lihat betapa konyolnya merah-merah di pipimu, bagai tamparan saja. Tawa Doni yang sudah ditahan-tahan meledak, saat melihat dia memonyong-monyongkan bibirnya guna memakai lipstik. Si wanita menelengkan kepalanya, memberikan tatapan bertanya pada Doni.
       “Ternyata wanita kalau sedang memakai make up jelek sekali,” komentar Doni sambil menirukan gestur memakai lipstik, lalu dilanjutkan dengan pura-pura menampar pipinya sendiri.
       “Inilah pengorbanan wanita agar terlihat cantik,” dia ikut tertawa, sambil masih berusaha meratakan warna merah pada bibirnya. Konsentrasinya benar-benar kelas dewa.
       “Mbaknya unik, biasanya wanita kalau memakai make up akan menyembunyikan diri di toilet misalnya.”
       “Aku kan dulunya model di Jakarta, jadi harus siap setiap saat, dan dimanapun tempatnya,” sangkalnya untuk mengembalikan wibawa. Namun beberapa detik kemudian, “Sebenarnya malu juga Mas. Tapi tuntutan, karena sebentar lagi mau kondangan,” jawabnya sambil merona alami. Membuat polesan di pipinya semakin hidup.
       “Oh model, pantas,” bisik Doni dalam hati.
       “Ada yang sakit Mas?”
       “Kakak iparku melahirkan. Mbaknya besuk siapa?”
       “Temanku kena tipus, sudah satu minggu disini. Keponakanmu laki atau perempuan?
       “Laki.”
       “Wah, sama, anakku juga lelaki. Nakalnya Mas, minta ampun,” lalu diambilnya smart phone, kemudian ditunjukkan foto-foto selftwo bersama anaknya pada Doni. Seorang anak kecil yang gembira dengan berbagai pose, ada yang naik ayunan, berpelukan, serta naik sepeda roda tiga. Dan Ibunya selalu tampak bahagia. Doni penuh minat melihat foto-foto itu, terkadang tangannya ikut menggeser layar, mencoba melihat lebih banyak foto-foto mereka. “Anak lelaki memang begitu, biasanya bandel sama ibunya, tapi kalau sama bapaknya takut.”
       “Iya, harusnya. Sayangnya kami cerai 2 tahun lalu,” katanya sambil memaksakan senyum, namun Doni menangkap kesesedihan pada dia. Pandang Mbak-mbak tadi beralih, menerawang menembus dinding-dinding rumah sakit.
       Sial, pertanyaan bodoh, dan sangat-sangat salah. Tangannya masih menggeser layar smart phone, dan berhenti saat melihat foto itu. Foto sosok wanita belum mandi, berambut acak-acakan, mengenakan daster, dan bertelanjang kaki sedang menenteng gas lima kiloan di tangan kanan dan kiri. Sebagai latar belakang didominasi gas-gas berbagai ukuran ditata rapi. Di dinding belakang, ada papan bertuliskan “Depo Gas Desi Susanti, Nomor Telepon Pemesanan 085868 sekian-sekian”. “Pasti gasnya kosong, coba pakai make up pasti tidak seperti nenek sihir begini,” goda Doni.
       Wanita itu tertawa kembali, “Itu isi Mas, berat, mau diantar ke pelanggan. Mana bisa kerja otot begitu pakai make up, nanti kena keringat luntur, kan sayang.
       “Sudah lama jualan gas?”
       “Baru dua tahun yang lalu, sejak cerai Mama menyuruh saya pulang, lalu saya dikenalkan ke distributor gas. Tempatnya dekat alun-alun. Mama juga yang memberi modal.
       “Oo begitu, sendirian saja mbak antar gasnya?”
       “Ada pegawai, baru 1. Dia yang antar. Tapi kalau yang pesan banyak saya juga bantu antar.”
       “Satu gas harganya lima belas ribu, harga beli dari distributor paling sekitar 10.000 sampai 11.000. Berarti untungnya kotornya sekitar 4%. Setelah dipotong bensin, upah pegawai, untung bersihnya 2%. Berarti 2.000, tinggal dikali jumlah gasnya. Berapa mbak jumlah semuanya?”
       “Rahasia perusahaan! Ngomong-ngomong kok tau?”
       Doni tertawa mendengar tebakannya nyaris benar, “Aku admin keuangan Mbak,” bisiknya dalam hati.
       “Mbak boleh tidak lihat fotomu saat jadi model?”
       Yang diminta menghembuskan nafas panjang, sekilas seperti tidak mau, namun bibir bulan sabitnya yang melengkung ke atas tidak berkata begitu.
       Dislidenya cepat-cepat, sampai tiba di foto wanita cantik mengenakan pakaian ketat serba mini berwarna merah, mukanya berbalut make up, rambut badai semi pirangnya bergelombang dengan megahnya. “Aku sering diganggu karena hal ini Mas.”
       Benar-benar beda, seperti bunglon saja wanita ini. “Ya jelaslah mbak,” katanya sambil menslide layar ke foto berikutnya. “Kalau setiap hari seperti ini tidak bakal ada yang melirik, kecuali saya,” gerakan jari Doni berhenti di foto “Bidadari membawa bom lima kilo,” katanya keras-keras.
       “Tadi katanya seperti nenek sihir, dasar tidak konsisten,” balasnya mengikik geli.” “Mas aku mau kondangan, sudah dulu ya,” tambahnya setelah kikikannya reda, sambil berdiri.”
       “Iya Mbak, oh ya namaku Doni,” katanya mengulurkan tangan, ikut-ikutan berdiri.
       Dia menyambut uluran tangan Doni dan menjabatnya, “Namaku.”
       “Desi Susanti,” potong Doni.
       Mata almond Desi kembali memancarkan tatapan penuh tanda tanya. “Ada di foto, bahkan nomor telponmu juga ada. Tapi aku tidak ingat angka-angka sebanyak itu dalam waktu beberapa detik,” Doni menzoom foto tadi, wajahnya kecewa.
       Desi tertawa lagi mendengar jawaban Doni. “Sepertinya kamu punya mata elang Mas.” “Bukan, tetapi mata lelaki mbak,” jelasnya sambil terbahak-bahak. “Daa,” tambahnya sambil melambaikan tangan. Doni, lalu berjalan menuju kamar kakak iparnya. Sepuluh meter kemudian Doni melirik ke belakang, Desi yang belum beranjak dari situ, dan masih memandang Doni, melambaikan tangannya ke udara. Mereka berdua lalu melanjutkan perjalanan, kali ini dengan langkah-langkah yang ringan sekali. 
      
       

Comments