Tiga Bukti Kusapa Dia
Panas sekali
cuaca Kota Magelang siang itu. Dengan malas dia melirik ruangan di balik pintu
kaca, yang berada tepat di belakangnya. Beberapa menit yang lalu Erwin berada
di ruangan itu, guna membayar angsuran rumah. Hmm sepertinya sejuk sekali di
dalam ruang berAC. Begitu keluar dari Bank BTN, dunia sesungguhnya dengan
senang hati bersiap menguji titik didih keteguhan hati manusia.
Dengan
langkah gontai dihampirinya penjaga parkir. “Bayar Rp 2.000,00, motor
distarter, lalu, ups helm hampir saja lupa,” instruksinya dalam hati. Erwin
memicingkan mata menatap jalan raya yang penuh fatamorgana, letih sekali dia
menatap, “Bah, aku benci warna hitam.”
Bermacam
janis kendaraan lalu-lalang di hadapannya. Dia bergumam dalam hati, “Kenapa
pula memicingkan mata,” gerutunya dalam hati sembari keheranan. Namun mata yang
terlanjur fokus itu tertuju pada pengemudi dengan motor vario hitam berkelir
merah. Dipandangnya betul-betul sampai tak terjangkau lagi.
Erwin segera
mengejar motor yang gesit menyelinap di sela-sela mobil-mobil, atau menyalip
motor lain itu. “Ahh cepatnya, tak bisakah dia pelan-pelan menikmati macetnya
jalan,” keluhnya sambil melepas stang kiri, lalu membalikkan telapak tangan
kiri, sehingga bagian dalamnya saja yang tampak. Mau tak mau dia ikut tempo
berkendara si Pengemudi Vario. “Untung motorku matik juga, di jalan padat
nyaris macet seperti ini akselerasi lebih penting dari kecepatan.”
Sesampainya
di bangjo sebelum Masjid Agung, Erwin menghentikan motornya tepat di belakang
Pengemudi Vario, lalu berpikir, “Mengapa aku mengikuti dia?” Dipicingkan lagi
matanya, “Helm VOG Predator warna hitam, berkelir merah. Sepertinya aku kenal.”
Namun setelah mengedarkan pandangan ke sisi-sisi lain bangjo, ada pengemudi
lain yang memakai helm serupa, bahkan lebih baru, dan bagus. “Uhh.”
“Tin, tin,
tiiiiiin,” suara klakson-klakson berbunyi, padahal lampu merah masih sisa tiga
detik. Panasnya hari membuat temperamen orang-orang ikut naik. Dan lampu pun
berganti hijau. “Oh sial, si Pengemudi Vario cepat tanjap gas, posisinya
langsung terdepan. “Namun, lihatlah Pengemudi Skydrive tak mau ketinggalan. Dia
juga berakselerasi, kini dia tepat dibelakang si Vario. Akankah dia
menyalipnya?” Erwin mengomentari suasana balapan ini dalam hati.
Lebih karena penasaran
Erwin membuntuti Pengemudi Vario tadi. “Akan kusalip di tikungan kanan setelah
gereja, sebab manusia normal akan menurunkan kecepatan, atau menekan tuas rem
di jalan menikung. Supaya lebih dramatis akan kusalip dari sisi dalam,” bisik
suara-suara jahat dalam pikiran Erwin.
Saat memasuki
sisi dalam tikungan, dan hampir mengasapi si Pengemudi Vario, ada kekuatan tak
kasat mata yang menggarahkan tatapannya ke tas yang dikenakan Pengemudi Vario.
“Apasih ini,” bisinya sambil menarik bersama-sama tuas rem depan dan belakang
dengan tenang. Motornya kembali membuntuti di belakang. Erwin mencari-cari
ingatan dalam otaknya, “Tas Eiger coklat. Hmmm, empat tahun lalu, aduh lupa.
Ayolah otak, ingat, ingat, ingat, ingat.”
“Oh ya dulu setelah piknik ke Dieng, ada kawan
yang ingin membeli tas di Toko peralatan outdoor
di Temanggung. Tapi uangnya tidak cukup, lalu dia meminjam uangku 200.000.
Kebetulan juga aku punya 200.000, jumlah yang jarang-jarang ada di dompet.
Tapi, Benarkah itu dia? Dulu motornya bebek. Pakaiannya formal sekali. Sepatu
kulit, celana panjang hitam halus, atasan batik mega mendung, dengan meganya
warna hijau toska dan lainnya putih, yang menyembul di balik jaket hitamnya.
Ciri khasnya anak itu pendek, nah ini sekitar 165cm-an. Bukan. Ini bukan gaya
dia.”
Bangjo sebelum Taman Badak’an
menghentikan pengemudi-pengemudi kendaraan bermotor. Dia beringsut gelisah
ingin menyapa si Pengemudi Vario. Tapi karena tak cukup bukti, dan takut
mendapat malu jika salah orang, lelaki ini kembali ke posisi semula, berhenti
di belakang vario hitam berkelir merah.
“Akan kubuntuti sampai kantor
Magelang Express, kalau sebelum kantornya lampu sein kanan menyala, itulah dia,
dan akan kusapa,” pikiran Erwin sudah menyimpulkan dua langkah logis,
menindaklanjuti dua bukti yang ditemukan. “Dua bukti belum cukup untuk
disimpulkan, tiga batas minimalnya,” batinnya sambil menggertakkan gigi
jengkel.
Setelah itu Erwin termangu-mangu
sepanjang jalan. “Hmmm, ini kan jalan menuju kampus” kenangnya lalu mengingat
sahabat-sahabatnya saat kuliah. Lima sahabat yang terpisah di semester 8.
Perbedaan dosen pembimbing membuat mereka tak berhubungan intens seperti dulu.
“Pertemuan terakhirku dengan mereka saat seminar skripsi bab 1, 2, 3. Itu sudah
dua tahun lebih,” kenangnya sedih.
Diantara lima
sahabat, Erwinlah yang paling susah dihubungi. “Dia adalah orang kuno,” ejek
Yudha, salah seorang diantara lima sahabat. “Aku masih ingat dia beralasan,
“Terkadang ada beberapa hal yang tidak dapat diutarakan secara jelas dengan
alat-alat komunikasi modern. Namun akan jelas jika diutarakan secara empat
mata.” Kamu lahir di zaman yang salah kawan. Harusnya di zaman batu kamu
hidup!” Tandasnya sembari memukul meja. Lalu meledaklah tawa kelimanya.
Akhirnya perjalanan sampai di depan
Gapura Untidar, yang kini gagah sekali dengan patung burung garuda kembarnya.
“Ini dulunya bernama Untid,” pikirannya melantur. “Betapa beruntungmya aku,
masuk swasta, keluarnya lulusan negeri,” dia tertawa sendiri mengingat semua
kenangan lama tadi.“
Erwin kembali mengamati pengemudi
beserta motor vario di depannya, kali ini lebih teliti. Saat pandangannya
menatap sepatbor belakang, ada stiker segilima yang diisi gambar burung
mengepakkan sayapnya. Kepala burung tadi menoleh ke kiri. “Logo Untid!” Katanya
kegirangan.
Bagai orang
dikejar setan, Erwin menarik tuas gas kuat-kuat, menyalip Pengemudi Vario, dan
berteriak panjang, “Uciiiiiiiiiiiil.” Pengemudi Vario yang juga kaget,
menaikkan kaca helmnya, memandang balik, dan berteriak tak kalah panjang,
“Gondrongggggg, 3 tahun ngilang kemanaaaaaaaaaaa?”
Comments
Post a Comment